Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, mengisi kuliah umum di Universitas Saint Petersburg, Rusia, Senin (16/9). --Dok. Antara |
Jakarta, Pewarta.co.id - Dalam sebuah pidato yang disampaikan di Universitas Saint Petersburg, Rusia, Senin (16/9/2024), Presiden kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, menyuarakan seruan kepada negara-negara di dunia untuk segera membentuk regulasi internasional yang mengatur penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Pidato ini merupakan bagian dari kuliah umum bertajuk Tantangan Geopolitik dan Pancasila sebagai Jalan Tata Dunia Baru, yang diadakan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-300 universitas tersebut.
Megawati memberikan perhatian khusus terhadap ancaman yang mungkin timbul dari penyalahgunaan AI, terutama oleh aktor non-negara yang tidak tunduk pada aturan negara.
Ia menyatakan bahwa dunia saat ini berada dalam kondisi yang semakin kompleks, penuh ketidakpastian, dan rentan terhadap konflik. Menurutnya, potensi konflik yang muncul dari penggunaan AI harus segera diantisipasi dan diatur melalui kerangka hukum yang kuat.
"Potensi konflik harus segera dimitigasi, termasuk akibat penyalahgunaan kemajuan teknologi, termasuk artificial intelligence," kata Megawati, dikutip Antara, Selasa (17/9/2024).
Megawati menegaskan bahwa teknologi, termasuk kecerdasan buatan, membawa dampak besar bagi perkembangan peradaban. Di satu sisi, teknologi dapat meningkatkan taraf hidup manusia, tetapi di sisi lain, ia juga dapat digunakan sebagai alat penghancur jika jatuh ke tangan yang salah.
Menurut Megawati, AI bisa menjadi salah satu alat yang berpotensi menimbulkan konflik apabila digunakan untuk menciptakan senjata pemusnah massal.
Sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Megawati juga menyoroti kompleksitas geopolitik yang semakin meningkat akibat perkembangan teknologi dan munculnya aktor-aktor non-negara.
Aktor-aktor ini tidak hanya berperan dalam dunia ekonomi, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan terhadap isu-isu keamanan global. Dalam pidatonya, Megawati menekankan bahwa keadaan geopolitik saat ini bersifat multipolar, multiaktor, dan spektrumnya semakin luas.
Perbedaan kepentingan nasional, penguasaan sumber daya, serta konflik yang dipicu oleh identitas agama dan etnisitas juga turut mempersulit situasi geopolitik global.
Megawati menambahkan, lahirnya berbagai paham baru juga semakin memperumit masalah. Hal ini menyebabkan munculnya konflik asimetris yang bersifat radikal, anti-kemapanan, serta memiliki dampak lintas batas.
Ancaman teknologi dalam konflik global
Selain kecerdasan buatan, Megawati juga menyuarakan kekhawatirannya terhadap penggunaan senjata kimia dan biologi, yang dinilai semakin mengkhawatirkan. Ia mengajak dunia untuk waspada terhadap keterlibatan aktor non-negara dalam menggunakan teknologi persenjataan modern.
"Namun, apakah demikian dengan aktor nonnegara? Bagaimana kalau kemajuan artificial intelligence dalam hubungannya dengan persenjataan modern yang membahayakan keselamatan umat manusia dikuasai aktor nonnegara?" tanya Megawati kepada para peserta kuliah.
Megawati menegaskan pentingnya segera merumuskan hukum internasional yang dapat mengatur penggunaan kecerdasan buatan, terutama dalam konteks persenjataan modern. Menurutnya, hukum ini harus mampu memitigasi berbagai potensi konflik yang mungkin timbul di masa depan.
Meski mengajak dunia untuk segera merumuskan hukum internasional yang mengatur penggunaan AI, Megawati juga memberikan catatan penting terkait pembentukan regulasi tersebut.
Ia menekankan bahwa hukum internasional harus dibangun dengan semangat kesetaraan antarbangsa, bukan didasarkan pada keinginan untuk mendominasi negara-negara kecil oleh negara-negara besar.
"Artinya jangan sampai hukum internasional yang dibangun mengenai AI, justru jadi alat baru pembangun hegemoni negara tertentu atas dunia," tegasnya.
Megawati menyampaikan kekhawatiran bahwa hukum internasional yang tidak dirumuskan secara adil dapat menjadi alat baru untuk menciptakan bentuk penjajahan gaya baru.
Ia menyoroti potensi dominasi negara-negara besar melalui kekuatan ekonomi, pangan, serta keunggulan teknologi, yang dapat digunakan untuk menekan negara-negara lain.
Mengangkat kembali gagasan Bung Karno
Untuk memperkuat argumennya, Megawati mengingatkan kembali kepada dunia tentang gagasan Bung Karno yang disampaikan dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 September 1960. Dalam pidato bertajuk To Build the World a New, Bung Karno menyerukan perlunya reformasi PBB, terutama terkait dengan demokratisasi dan penghormatan terhadap kesetaraan antarbangsa.
Dalam pidato tersebut, Bung Karno juga mengusulkan beberapa langkah penting untuk membangun tatanan dunia yang lebih adil. Salah satunya adalah reorganisasi Dewan Keamanan PBB agar lebih efektif dalam menangani konflik global.
Selain itu, Bung Karno juga mengusulkan pemindahan markas besar PBB ke negara yang tidak terlibat konflik, serta memasukkan prinsip-prinsip Pancasila ke dalam Piagam PBB.
Megawati menyatakan bahwa pidato Bung Karno tersebut masih relevan hingga saat ini, terutama dalam konteks pembentukan hukum internasional yang mengatur penggunaan kecerdasan buatan.
"Sebuah keprihatinan atas sistem internasional yang makin bergeser pada perang hegemoni dan melupakan pentingnya solidaritas sosial dan kemanusiaan," ujarnya.