Iklan -- Scroll untuk lanjut membaca
Advertisement

Pemakzulan vs Penegakan Konstitusi: Ujian Kedewasaan Demokrasi Indonesia

Pemakzulan vs Penegakan Konstitusi: Ujian Kedewasaan Demokrasi Indonesia
Presiden Prabowo Subianto (tengah) berbincang dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (kedua kiri), Menko Polkam Budi Gunawan (kanan), Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (kedua kanan), Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (kempat kanan), Mensesneg Prasetyo Hadi (ketiga kiri) dan Seskab Teddy Indra Wijaya (kiri) setibanya di Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (15/4/2025). Prabowo Subianto kembali ke tanah air setelah melakukan lawatan ke lima negara di Timur Tengah. (Dok. ANTARA)

Jakarta, Pewarta.co.id – Sepanjang perjalanan sejarah bangsa, dinamika politik selalu hadir menguji kedewasaan berdemokrasi.

Salah satu isu hangat yang kini mencuat adalah wacana pemakzulan, khususnya yang diarahkan kepada Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka.

Isu pemakzulan ini memicu diskusi tentang batas antara dinamika politik demokratis dan penegakan konstitusi.

Sebagian pihak menilai bahwa perdebatan tersebut merupakan bagian alami dari masa transisi kekuasaan.

Namun, dalam negara hukum seperti Indonesia, segala bentuk perbedaan pendapat harus tetap berpegang pada koridor hukum yang berlaku.

Indonesia bukan sekadar arena adu kekuatan politik, melainkan sebuah bangsa hukum, di mana supremasi konstitusi menjadi landasan utama.

Mekanisme pemberhentian presiden atau wakil presiden telah diatur dengan jelas dalam UUD 1945. Pasal 7A menegaskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, atau kejahatan besar lainnya, dan usulan pemberhentiannya harus diajukan oleh DPR kepada Mahkamah Konstitusi.

Tanpa memenuhi kriteria ini, segala upaya untuk mendesak pemakzulan dianggap bertentangan dengan semangat konstitusi.

Suara dari praktisi hukum

Dalam merespons wacana ini, Koordinator Team Hukum Merah Putih, C. Suhadi, mengingatkan pentingnya menghormati mekanisme hukum.

Ia menegaskan, "Desakan yang muncul di luar mekanisme tersebut adalah tindakan yang melampaui batas-batas hukum."

Ia juga menekankan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengenai syarat usia pencalonan presiden dan wakil presiden bersifat final dan mengikat.

Dengan demikian, seluruh rangkaian proses pemilihan, mulai dari pencalonan hingga pelantikan, dinyatakan sah dan sesuai konstitusi.

Mempertanyakan keabsahan jabatan pasca-pelantikan, menurutnya, hanya akan membuka luka baru dalam kehidupan demokrasi.

Pelajaran dari negara lain

Kekecewaan terhadap hasil politik adalah hal yang wajar dan harus ditangani dengan empati.

Namun, segala bentuk ketidakpuasan tetap harus disalurkan melalui jalur hukum.

Mengacu pada praktik di negara demokrasi seperti Amerika Serikat, pemakzulan presiden diatur secara ketat dalam konstitusi, membutuhkan tuduhan serius seperti pengkhianatan, penyuapan, atau kejahatan besar lainnya.

Sejarah membuktikan, meskipun Presiden Andrew Johnson, Bill Clinton, dan Donald Trump menghadapi proses pemakzulan, tidak semua berujung pada pemberhentian.

Proses tersebut menuntut standar bukti tinggi dan prosedur hukum yang ketat.

Penelitian Gerhardt (1999) dalam The Federal Impeachment Process menegaskan bahwa pemakzulan bertujuan menjaga tatanan konstitusi, bukan sekadar pelampiasan ketidakpuasan politik.

Mekanisme ini harus didasarkan pada bukti nyata, bukan kepentingan partisan.

Di Indonesia, kajian Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (2010) dan Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi menunjukkan bahwa perubahan UUD 1945 telah mempertegas prosedur pemakzulan, bertujuan mencegah krisis politik akibat konflik kekuasaan biasa.

Pemakzulan, menurut Prof. Jimly, adalah sarana untuk menegakkan akuntabilitas dalam kasus pelanggaran berat.

Selain itu, Yance Arizona dalam Constitutional Review (2017) juga mengingatkan bahwa pemakzulan harus berlandaskan bukti hukum yang kuat, bukan sentimen massa.

Ia mengingatkan akan bahaya penggunaan pemakzulan untuk kepentingan politik praktis.

Menjaga marwah hukum dan demokrasi

Demokrasi mengajarkan bahwa bahkan ketidakpuasan pun harus disalurkan secara beradab melalui mekanisme yang sah.

Menghormati hukum adalah syarat mutlak bagi keberlangsungan tatanan demokrasi.

Dinamika yang terjadi saat ini menjadi pelajaran penting bagi bangsa Indonesia: pentingnya membangun kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi, DPR, KPU, dan MPR.

Menjaga kehormatan lembaga tersebut adalah bagian dari pendidikan politik yang harus ditanamkan, terutama kepada mereka yang mengaku sebagai elite atau tokoh masyarakat.

Wakil Presiden terpilih bukan hanya sekadar sosok individu, tetapi juga representasi pilihan rakyat yang wajib dihormati.

Tugas besar menanti di hadapannya memenuhi ekspektasi publik sembari menjaga stabilitas pemerintahan.

Upaya menggoyahkan posisinya tanpa dasar hukum hanya akan merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri.

Membutuhkan ketenangan nasional

Dalam situasi seperti ini, bangsa Indonesia memerlukan ketenangan: ketenangan dalam berpikir, berbicara, bertindak, dan menyalurkan aspirasi.

Kekuatan bangsa tidak diukur dari kerasnya perdebatan, melainkan dari keteguhan seluruh elemen bangsa dalam berpegang pada prinsip keadilan dan supremasi hukum.

Kemampuan untuk menahan diri, menyelesaikan perbedaan secara arif, serta setia pada cita-cita kebangsaan yang diwariskan para pendiri negara adalah kunci menjaga persatuan.

Wacana mengenai pemakzulan Gibran bukan semata-mata soal satu individu, melainkan cermin ujian bagi seluruh bangsa: apakah Indonesia tetap konsisten menjunjung tinggi konstitusi atau tergelincir dalam pusaran konflik politik yang merugikan.

Daripada terus memperpanjang polemik, kini saatnya semua elemen bangsa kembali fokus pada pembangunan, dialog yang sehat, dan komitmen untuk menjaga Indonesia tetap kuat dan bermartabat.