Pakar Politik: Efisiensi Tak Perlu Diterapkan di Daerah, Ini Penjelasannya
![]() |
Executive Director Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi. (Dok. Ist) |
PEWARTA.CO.ID - Kebijakan efisiensi anggaran yang sedang digalakkan oleh pemerintah pusat seharusnya tidak serta-merta diikuti oleh pemerintah daerah.
Hal ini ditegaskan oleh Executive Director Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dalam sebuah forum diskusi ekonomi.
Burhanuddin menilai bahwa langkah efisiensi memang penting bagi pemerintah pusat dalam rangka konsolidasi aset dan pelaksanaan berbagai program strategis nasional, seperti Major Project Government (MPG).
Namun, kebijakan tersebut tidak semestinya diberlakukan di tingkat daerah karena bisa berdampak negatif terhadap dinamika perekonomian lokal.
"Pemerintah pusat harus menegaskan bahwa efisiensi itu sebaiknya hanya berjalan di tingkat pusat. Dan faktualnya seperti itu, efisiensi dilakukan untuk konsolidasi aset, buat program seperti MPG. Alasannya simple, pemerintah daerah tidak terkena oleh aturan yang ada di tingkat pusat. Yang kedua, kalau di tingkat nasional terjadi pengetatan ikat pinggang, di daerah juga melakukan hal yang sama, itu punya dampak," ujar Burhanuddin dalam acara DBS Asian Insights Conference di Jakarta, dikutip Kamis (22/5/2025).
Burhanuddin juga mengungkapkan bahwa banyak pemerintah daerah yang saat ini mengikuti langkah efisiensi yang diambil oleh pemerintah pusat.
Akibatnya, tingkat penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi sangat rendah. Salah satu contoh yang disorot adalah Kabupaten Bojonegoro.
Kabupaten tersebut diketahui memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar, yakni sekitar Rp8 triliun per tahun, berkat keberadaan Blok Cepu.
Namun, hingga saat ini, tingkat penyerapan anggaran sejak kepala daerah dilantik pada Februari tahun lalu masih sangat minim.
"Itu Kabupaten Bojonegoro memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) per tahunnya Rp 8 triliun, karena ada blok cepu disana. Sementara serapannya sejak kepala daerahnya dilantik Februari tahun lalu, less than 1%," ujarnya.
Situasi tersebut, menurut Burhanuddin, menjadi cerminan bahwa perlu ada kejelasan lebih lanjut mengenai sejauh mana kebijakan efisiensi berlaku.
Jika tidak, maka daerah-daerah akan cenderung menahan belanja, yang pada akhirnya justru menghambat pertumbuhan ekonomi lokal.
"Dan kalau kemudian mereka mengikuti kebijakan efisiensi di tingkat nasional, kebayang kira-kira. Nah ini contoh lagi-lagi yang menurut saya perlu sambil mencari jalan untuk menyiasati keadaan. Dan saya kira pengusaha punya banyak akal untuk menyiasati keadaan itu," ungkapnya.