Miris! Remaja Indonesia Paling Rendah Literasi Keuangannya, Ini Kata OJK
![]() |
Ilustrasi - Financial literacy. (Dok. Banksaqu.co.id). |
PEWARTA.CO.ID - Meskipun literasi dan inklusi keuangan di Indonesia menunjukkan tren positif, ternyata masih ada kelompok yang tertinggal dalam pemahaman soal keuangan yakni para remaja usia 15-17 tahun. Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap ketimpangan signifikan berdasarkan usia, pendidikan, dan jenis pekerjaan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyampaikan bahwa kelompok usia produktif dan masyarakat berpendidikan tinggi lebih unggul dalam hal pemahaman dan akses keuangan.
"Secara umum dilihat dari kelompok umur menarik, indeks literasi dan inklusi keuangan ditopang oleh tiga kelompok umur yang utama, yaitu kelompok umur 18-25 tahun, kelompok umur 26-35 tahun dan 36-50 tahun," ujar Friderica dikutip Minggu, (4/5/2025).
Usia produktif paling melek finansial
Berdasarkan data OJK, kelompok usia 26-35 tahun mencatatkan literasi keuangan tertinggi dengan skor 74,04 persen. Disusul kelompok usia 18-25 tahun (73,22 persen) dan 36-50 tahun (72,05 persen).
Sayangnya, remaja usia 15-17 tahun justru berada di posisi terbawah dengan tingkat literasi keuangan hanya 51,68 persen. Kelompok lansia usia 51-79 tahun juga mencatat angka rendah, yakni 54,55 persen.
Dalam hal inklusi keuangan, usia 18-25 tahun menjadi yang tertinggi (89,96 persen), disusul usia 26-35 tahun (86,10 persen), dan 36-50 tahun (85,81 persen). Sementara itu, kelompok usia lanjut (51-79 tahun) hanya mencapai 66,88 persen dan remaja (15-17 tahun) mencatat 74 persen.
"Kalau indeks inklusi keuangan cenderung meningkat dibanding tahun 2024 di semua segmen umur," tambah Friderica.
Pendidikan tinggi, literasi keuangan tinggi
Tingkat pendidikan turut menjadi faktor dominan dalam menentukan literasi keuangan seseorang. Masyarakat yang lulus pendidikan tinggi mencatat skor literasi tertinggi mencapai 90,63 persen. Lulusan SMA/sederajat berada di angka 79,18 persen, sedangkan lulusan SMP/sederajat di 64,04 persen.
Sebaliknya, mereka yang tidak pernah sekolah atau tidak menamatkan SD mencatatkan literasi keuangan terendah, yaitu hanya 43,20 persen. Lulusan SD mencatat 54,50 persen.
Tren serupa juga terlihat pada indeks inklusi keuangan. Lulusan perguruan tinggi mencapai angka tertinggi, yakni 99,10 persen. Lulusan SMA dan SMP masing-masing mencatat 92,81 persen dan 82,00 persen. Sementara itu, mereka yang tidak sekolah atau hanya tamat SD mencatat angka inklusi masing-masing sebesar 56,95 persen dan 68,06 persen.
Jenis pekerjaan tentukan tingkat literasi
Dari sisi pekerjaan, kelompok pegawai dan profesional menduduki posisi puncak dalam literasi keuangan, dengan skor 85,80 persen. Pensiunan/purnawirawan berada di angka 74,11 persen, diikuti oleh pengusaha/wiraswasta sebesar 73,60 persen.
Sebaliknya, kelompok masyarakat yang belum bekerja, serta petani, peternak, pekebun, nelayan dan lainnya mencatat tingkat literasi paling rendah. Kelompok tidak atau belum bekerja hanya meraih skor 49,36 persen, petani dan nelayan sebesar 58,87 persen, dan pekerjaan lain 60,17 persen.
Untuk inklusi keuangan, kelompok pensiunan dan purnawirawan mencetak angka sempurna, yakni 100 persen. Pegawai dan profesional menyusul di 95,11 persen, dan pengusaha/wiraswasta sebesar 88,66 persen.
Di sisi lain, kelompok tidak bekerja mencatat indeks inklusi 64,82 persen. Petani dan kelompok serupa mencapai 69,40 persen, sedangkan jenis pekerjaan lain di angka 74,73 persen.
Ketimpangan yang masih terjadi menunjukkan bahwa edukasi keuangan belum menyentuh semua lapisan masyarakat secara optimal, terutama di kalangan remaja dan masyarakat berpendidikan rendah. OJK menilai, perlu ada pendekatan yang lebih menyasar kelompok-kelompok ini agar mereka mampu memahami, mengakses, dan mengelola keuangan secara bijak.
Langkah-langkah edukatif perlu terus digencarkan, khususnya melalui kurikulum sekolah, kampanye media digital, dan pelatihan komunitas. Remaja yang merupakan generasi masa depan, harus dibekali dengan pemahaman finansial yang kuat agar tidak terjebak dalam perilaku konsumtif atau pinjaman ilegal di masa mendatang.