Pemerintah Sisipkan Pendidikan Iklim ke Kurikulum, Anak Sekolah Didorong Peduli Lingkungan Sejak Dini
PEWARTA.CO.ID - Pemerintah Indonesia tengah gencar mendorong integrasi pendidikan perubahan iklim ke dalam kurikulum nasional sebagai langkah strategis dalam membekali generasi muda menghadapi krisis iklim yang semakin nyata. Langkah ini diyakini menjadi kunci dalam menciptakan individu yang tangguh secara lingkungan dan mendukung pembangunan berkelanjutan di masa depan.
Direktur Mobilisasi Sumber Daya Pengendalian Perubahan Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Franky Zamzani, menjelaskan bahwa kondisi iklim dunia saat ini telah membawa ancaman serius bagi anak-anak, termasuk di Indonesia.
“Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dalam menghadapi krisis iklim, perlu strategi jangka panjang untuk memastikan generasi muda Indonesia tumbuh menjadi individu yang berketahanan iklim dan sadar lingkungan,” ujar Franky dalam diskusi daring, Rabu (14/5/2025).
Ia merujuk pada laporan UNICEF tahun 2021, yang menyebut lebih dari 1 miliar anak di dunia hidup di wilayah berisiko tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Karena itu, pendidikan sejak dini menjadi krusial untuk menumbuhkan kesadaran dan aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
“Salah satu strategi yang penting dan mendesak adalah melalui integrasi pendidikan lingkungan khususnya ke dalam kurikulum yang disebut dengan pendidikan perubahan iklim,” imbuh Franky.
Ia juga menekankan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kebiasaan kecil di rumah dan sekolah, seperti mengurangi penggunaan botol plastik sekali pakai atau beralih ke transportasi umum.
Sementara itu, Nur Rofika Ayu Shinta, Ketua Tim Kerja Pembelajaran di Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikdasmen, menyatakan bahwa perubahan iklim sudah menjadi realita yang dirasakan langsung oleh generasi saat ini. Karena itu, pendidikan menjadi saluran penting untuk membentuk kesadaran serta aksi anak-anak terhadap lingkungan.
Menurut Shinta, integrasi pendidikan iklim ke dalam kurikulum nasional telah mulai diimplementasikan sejak 2024. Tak hanya menyasar siswa, upaya ini juga dilakukan melalui peningkatan kapasitas guru dan sekolah, serta pelibatan masyarakat sekitar. Proyek ini dilaksanakan melalui kerja sama dengan UNESCO.
“Melalui kurikulum kita harapannya bisa memampukan siswa untuk mengambil aksinya sendiri dan berkontribusi untuk menurunkan emisi. Jadi kita tidak menuntut untuk sesuatu yang besar tapi memulai dari hal-hal yang kecil yang bisa siswa lakukan di aktivitas sehari-hari,” jelas Shinta.
Selain menanamkan kesadaran lingkungan, pendidikan perubahan iklim juga diarahkan untuk menyiapkan generasi masa depan dalam sektor ekonomi hijau, seperti pekerjaan di bidang energi terbarukan, pengelolaan limbah, hingga konservasi sumber daya alam. Hal ini diharapkan menjadi fondasi keterampilan masa depan yang berkelanjutan.
Dalam pengembangannya, Kemendikdasmen mengusung prinsip RAMAH – Relevan, Afektif, Merujuk Pengetahuan, Aksi Nyata, dan Holistik. Pendekatan ini diawali dengan pemahaman isu global di satuan pendidikan, lalu dikaitkan dengan masalah lokal di masing-masing daerah.
Pendidikan iklim tidak hanya disisipkan dalam mata pelajaran seperti IPA, IPS, atau geografi, tapi juga masuk dalam kegiatan ekstrakurikuler dan budaya sekolah. Guru dibekali pelatihan agar mampu menyampaikan isu iklim dengan pendekatan yang menarik dan mudah dipahami siswa.
Pemerintah berharap melalui pendekatan yang komprehensif dan kontekstual ini, peserta didik dapat tumbuh menjadi agen perubahan lingkungan yang aktif di masyarakat. Sekolah pun diharapkan tidak hanya menjadi tempat belajar teori, tetapi juga ruang praktik nyata gaya hidup berkelanjutan.