Badai Melissa Terjang Karibia, 30 Tewas di Haiti dan Jamaika, Ribuan Rumah Hancur
|  | 
| Badai Melissa Terjang Karibia, 30 Tewas di Haiti dan Jamaika, Ribuan Rumah Hancur | 
PEWARTA.CO.ID — Kepulauan Karibia kembali dilanda bencana besar setelah Badai Melissa mengamuk sejak Rabu (29/10/2025).
Badai kategori 5 ini meluluhlantakkan wilayah Jamaika, mengguyur Haiti dengan hujan lebat, dan memutus akses ke ratusan komunitas di Kuba.
Sedikitnya 30 orang dilaporkan meninggal dunia di dua negara, menjadikannya salah satu badai paling mematikan sepanjang tahun 2025.
Melissa lebih dulu menghantam Jamaika pada Selasa (28/10/2025) dengan kekuatan luar biasa. Angin berkecepatan hingga 298 kilometer per jam menerjang pulau itu, jauh melebihi batas minimum badai kategori 5, klasifikasi tertinggi dalam skala badai tropis.
Para ahli menyebut ini sebagai badai terkuat yang pernah menghantam daratan Jamaika secara langsung.
Jamaika porak poranda, 77 persen wilayah tanpa listrik
Kerusakan besar dilaporkan terjadi di barat daya Jamaika, wilayah yang sebelumnya juga luluh lantak akibat Badai Beryl pada 2024.
Menurut data AccuWeather, total kerugian ekonomi yang ditimbulkan Badai Melissa di Jamaika diperkirakan mencapai USD 22 miliar, dan proses pemulihan bisa memakan waktu hingga satu dekade.
Banjir besar menghanyutkan sedikitnya empat jenazah di wilayah pertanian St. Elizabeth.
Sementara itu, 77 persen wilayah Jamaika dilaporkan mengalami pemadaman listrik total. Meski ibu kota Kingston relatif aman, bandara utama negara itu baru dijadwalkan buka kembali pada Kamis (30/10/2025).
Pemerintah Jamaika telah mengaktifkan status tanggap darurat dan membuka ribuan tempat penampungan bagi warga terdampak.
Menteri Pemerintah Daerah, Desmond McKenzie, mengatakan lebih dari 25.000 orang sudah menerima bantuan.
“Tidak seorang pun boleh ditolak dari tempat penampungan,” tegas McKenzie.
Haiti diterjang hujan lebat, 25 orang meninggal
Meski Badai Melissa tidak menghantam Haiti secara langsung, namun hujan deras yang berlangsung berhari-hari mengakibatkan banjir besar di beberapa wilayah, termasuk Petit-Goave, kota pesisir yang terletak 64 kilometer dari ibu kota Port-au-Prince.
Pihak berwenang melaporkan 25 orang tewas, sebagian besar akibat meluapnya sungai di wilayah tersebut.
Di antara korban, sedikitnya 10 anak-anak dilaporkan meninggal dunia dan 12 orang lainnya masih hilang, menurut badan penanggulangan bencana Haiti.
Lebih dari 1.000 rumah terendam banjir, dan ribuan warga kini terpaksa bertahan di kamp pengungsian dengan kondisi memprihatinkan.
Para korban mengaku kesulitan mendapatkan makanan dan air bersih karena lambatnya distribusi bantuan dari pemerintah maupun lembaga kemanusiaan.
Kuba terisolasi, ratusan komunitas terputus komunikasi
Sebelum mencapai Jamaika dan Haiti, Badai Melissa lebih dulu menerjang wilayah timur Kuba.
Badai tersebut mendarat di daerah pegunungan Guama, sekitar 40 kilometer dari Santiago de Cuba, dengan kecepatan angin mencapai 120 mil per jam (sekitar 193 km/jam).
Akibatnya, 241 komunitas di provinsi Santiago masih terisolasi hingga Rabu, dengan sekitar 140.000 penduduk terdampak.
Pemerintah Kuba mengevakuasi lebih dari 735.000 orang sebelum badai menghantam, sebagian besar kini masih bertahan di pusat-pusat darurat.
Meski belum ada korban jiwa di Kuba, Presiden Miguel Díaz-Canel menegaskan bahwa kerusakan yang ditimbulkan badai ini sangat parah.
Presiden Díaz-Canel juga mengingatkan agar masyarakat tetap waspada karena hujan deras masih mengguyur sejumlah provinsi di bagian timur pulau tersebut.
Ia memperingatkan adanya dampak serius terhadap sektor pertanian, terutama menjelang musim tanam musim dingin.
Kuba sendiri tengah menghadapi krisis ekonomi berkepanjangan, dengan kekurangan pangan, bahan bakar, dan obat-obatan yang memperburuk situasi kemanusiaan.
Dampak luas dan peringatan dari ilmuwan
Menurut data AccuWeather, Badai Melissa kini menempati posisi ketiga badai paling kuat di Karibia, setelah Badai Wilma (2005) dan Badai Gilbert (1988), yang juga menjadi badai besar terakhir yang menghantam langsung Jamaika.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa fenomena seperti ini semakin sering terjadi akibat kenaikan suhu laut yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca. Pemanasan laut membuat badai tropis bisa berkembang menjadi super-badai dalam waktu singkat.
Banyak pemimpin negara-negara kepulauan Karibia kini menyerukan agar negara-negara maju penghasil emisi tinggi bertanggung jawab dengan memberikan kompensasi iklim, baik dalam bentuk bantuan dana maupun keringanan utang.
Di tengah bencana itu, Majelis Umum PBB pada Rabu juga kembali menyerukan agar Amerika Serikat mengakhiri embargo ekonomi terhadap Kuba, kebijakan yang sudah berlangsung sejak era Perang Dingin.
