Iklan -- Scroll untuk lanjut membaca
Advertisement

Ekonom UNHAS Sebut Redenominasi Rupiah Bisa Pulihkan Kepercayaan Publik dan Tekan Pengaruh Dolar

Ekonom UNHAS Sebut Redenominasi Rupiah Bisa Pulihkan Kepercayaan Publik dan Tekan Pengaruh Dolar
Ekonom UNHAS Sebut Redenominasi Rupiah Bisa Pulihkan Kepercayaan Publik dan Tekan Pengaruh Dolar

PEWARTA.CO.ID — Wacana redenominasi Rupiah kembali menjadi sorotan publik usai Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membeberkan rencana penataan kebijakan nilai mata uang nasional.

Langkah ini dianggap sebagai momentum penting untuk memperkuat identitas moneter Indonesia sekaligus menekan pengaruh mata uang asing, khususnya dolar Amerika Serikat.

Ekonom Universitas Hasanuddin (UNHAS) sekaligus mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI periode 2015–2018, Muhammad Syarkawi Rauf, menilai kebijakan redenominasi dapat menjadi strategi efektif untuk memulihkan kredibilitas Rupiah dan menekan gejala currency substitution atau dolarisasi yang kian meluas.

Menurut Syarkawi, posisi Rupiah yang lemah di pasar global telah menjadi tantangan serius dalam menjaga kedaulatan ekonomi nasional. Saat ini, Rupiah bahkan masuk jajaran enam besar mata uang paling lemah di dunia, sejajar dengan Vietnam Dong dan beberapa mata uang negara berkembang lain.

“Nilai Rupiah yang sangat lemah terhadap dolar AS menimbulkan masalah kredibilitas dalam transaksi internasional. Bahkan, hal itu turut menurunkan fungsi Rupiah sebagai alat tukar, alat hitung, dan penyimpan kekayaan di dalam negeri,” ujar Syarkawi di Jakarta, dikutip Minggu (9/11/2025).

Fenomena dolarsisasi di kalangan masyarakat

Syarkawi menjelaskan bahwa lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap Rupiah membuat sebagian orang lebih memilih menyimpan aset mereka dalam mata uang asing seperti dolar AS, euro, atau dolar Singapura. Tak hanya itu, tren penggunaan dolar bahkan mulai terlihat dalam aktivitas sosial masyarakat perkotaan.

“Bahkan di kalangan sosialita di kota besar seperti Jakarta, penggunaan dolar AS dalam aktivitas arisan pun bukan hal yang jarang terjadi,” ungkapnya.

Fenomena tersebut, lanjut Syarkawi, merupakan bentuk nyata currency substitution — kondisi ketika mata uang asing menggantikan fungsi mata uang domestik dalam berbagai transaksi akibat menurunnya kepercayaan publik.

“Currency substitution membuat suatu negara kehilangan identitas nasionalnya dan bahkan membuat kebijakan moneternya menjadi tidak efektif. Bank Sentral tidak dapat mempengaruhi jumlah uang beredar karena sebagian besar transaksi menggunakan mata uang asing,” terangnya.

Redenominasi sebagai solusi strategis

Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Rupiah, Syarkawi menilai redenominasi bisa menjadi langkah strategis yang realistis. Ia mencontohkan Turkiye yang sukses melakukan redenominasi pada tahun 2005 dengan menghapus enam angka nol dari mata uang lamanya tanpa menurunkan daya beli masyarakat.

“Proses yang sama dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dengan menghilangkan tiga angka nol dalam mata uang Rupiah. Misalnya, 1.000 Rupiah lama menjadi 1 Rupiah baru tanpa mengubah daya belinya,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa redenominasi tidak akan mengubah nilai tukar atau kemampuan beli masyarakat. Langkah ini semata bertujuan untuk menyederhanakan nominal agar transaksi menjadi lebih efisien dan praktis.

“Jika 1.000 Rupiah lama bisa membeli lima buah permen, maka 1 Rupiah baru pasca-redenominasi juga tetap dapat membeli lima buah permen,” tuturnya.

Hilangkan ilusi uang dan perkuat kepercayaan

Selain itu, Syarkawi menyebut kebijakan ini dapat membantu menghilangkan fenomena money illusion, persepsi salah bahwa seseorang merasa lebih kaya karena memegang uang bernominal besar, padahal daya belinya tetap rendah.

Dengan nominal yang lebih kecil namun nilai sama, masyarakat diharapkan memiliki pandangan yang lebih rasional terhadap uang dan ekonomi.

“Redenominasi akan meningkatkan kredibilitas Rupiah, memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap mata uang nasional, sekaligus menegaskan identitas moneter Indonesia,” katanya.

Ia juga menambahkan bahwa kebijakan tersebut akan menciptakan efisiensi transaksi, memperbaiki sistem pembayaran, serta berkontribusi terhadap stabilitas makroekonomi dan pengendalian inflasi.

“Langkah ini bukan hanya teknis, tapi juga simbolis — menunjukkan keseriusan pemerintah menjaga kedaulatan dan kepercayaan terhadap Rupiah di mata masyarakat dan dunia internasional,” tegasnya.

Menurut Syarkawi, jika dijalankan secara hati-hati dan disertai edukasi publik yang baik, redenominasi bisa menjadi momentum penting dalam mengurangi ketergantungan terhadap mata uang asing serta memperkuat kemandirian ekonomi nasional.

“Redenominasi Rupiah akan berdampak psikologis positif terhadap penggunaan Rupiah sebagai alat tukar, alat hitung, dan penyimpan kekayaan. Ini sekaligus menjadi penegasan terhadap kedaulatan moneter Indonesia,” pungkasnya.

Advertisement
Advertisement
Advertisement