Iklan -- Scroll untuk lanjut membaca
Advertisement

Indonesia Jadi Pasar Produk Halal Terbesar, tapi Masih Bergantung Impor? Ini Faktanya!

Indonesia Jadi Pasar Produk Halal Terbesar, tapi Masih Bergantung Impor? Ini Faktanya!
Ilustrasi. Industri produk halal Indonesia.

PEWARTA.CO.ID — Indonesia kembali menegaskan posisinya sebagai pasar makanan halal terbesar di dunia. Namun di balik dominasi tersebut, terdapat ironi besar, di mana mayoritas produk halal yang dikonsumsi masyarakat justru berasal dari negara-negara non-Muslim.

Kondisi ini menandakan bahwa Indonesia masih menjadi konsumen utama, bukan produsen utama dalam industri halal global.

Direktur Ekonomi Syariah dan BUMN Bappenas, Rosy Wediawaty, memaparkan bahwa Indonesia belum mampu mengambil peran besar sebagai penggerak produksi makanan halal. Menurut data terbaru yang ia sampaikan, suplai produk halal di pasar nasional sebagian besar berasal dari luar negeri, khususnya negara non-Muslim.

"Ekspor produk makanan halal dari negara non-Muslim menunjukkan potensi besar, karena Indonesia menjadi konsumen utama namun belum menjadi pemain utama. Saat ini, Muslim Indonesia menjadi pasar besar bagi negara non-Muslim untuk memproduksi makanan halal mereka," ujarnya dalam Training of Trainer (TOT) Ekonomi dan Keuangan Syariah bagi Jurnalis se-Jabodetabek 2025 di Sari Pacific, Jakarta, Jumat (14/11/2025).

Peluang besar industri halal nasional belum dioptimalkan

Rosy menilai kondisi tersebut menjadi alarm bahwa sektor industri halal di Tanah Air belum tergarap maksimal. Padahal, peluangnya sangat besar, terutama mengingat jumlah penduduk Muslim Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa.

Saat ini, baru 2,2 juta dari total 56,2 juta pelaku usaha di Indonesia yang memiliki sertifikasi halal. Angka tersebut masih sangat rendah dan perlu ditingkatkan jika Indonesia ingin mengubah status dari konsumen menjadi pemain utama di pasar global.

"Ini menjadi peluang sekaligus pemicu bagi Indonesia untuk lebih maju. Saat ini, Indonesia hanya menjadi konsumen makanan halal dan selalu menempati peringkat satu dalam konsumsi global," kata Rosy.

Sektor keuangan syariah masih tertinggal

Selain produk makanan halal, Rosy juga menyoroti sektor keuangan syariah yang pertumbuhannya stagnan. Meski Indonesia memiliki populasi Muslim yang jauh lebih besar, aset keuangan syariah Indonesia tertinggal dibandingkan Malaysia. Negara tetangga tersebut justru unggul dalam pengembangan dan besarnya aset keuangan syariah.

Situasi ini, menurut Rosy, menunjukkan perlunya strategi lebih agresif dan terukur untuk membangun ekosistem ekonomi syariah nasional yang kompetitif.

Literasi sudah meningkat, tapi inklusi masih rendah

Rosy menjelaskan bahwa literasi keuangan syariah di Indonesia sudah berada pada angka 43,2%, cukup baik dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.

Namun ironi terjadi pada inklusi keuangan syariah yang masih sangat rendah, yakni hanya 13,41%. Angka ini jauh tertinggal dari inklusi keuangan nasional yang mencapai 79%.

"Kondisi ini harus dioptimalkan dan menjadi target dalam rencana pembangunan nasional," tegasnya.

Dengan potensi pasar yang begitu besar dan minat masyarakat yang terus meningkat, industri halal nasional dinilai memiliki peluang emas untuk berkembang.

Namun tanpa percepatan sertifikasi, penguatan ekosistem usaha, serta peningkatan inklusi keuangan syariah, Indonesia akan terus berada pada posisi sebagai pasar—bukan produsen utama—produk halal dunia.

Advertisement
Advertisement
Advertisement