Formula UMP 2026 Dinilai Terlalu Tinggi, Pengusaha Wanti-wanti Industri Padat Karya Tertekan
![]() |
| Ilustrasi. Formula UMP 2026 dinilai terlalu tinggi, pengusaha wanti-wanti industri padat karya tertekan. (Dok. Freepik) |
PEWARTA.CO.ID — Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan menuai sorotan dari kalangan pengusaha.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai formula baru Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026, khususnya terkait rentang indeks tertentu atau alfa sebesar 0,5 hingga 0,9, terlalu tinggi dan berpotensi memberatkan dunia usaha, terutama sektor industri padat karya.
Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menyampaikan bahwa ketentuan alfa dalam PP tersebut jauh melampaui usulan yang telah diajukan oleh pelaku usaha kepada pemerintah.
Menurutnya, pengusaha sejak awal telah memberikan masukan dengan perhitungan berbasis data dan kondisi riil industri.
"Masukan kami alfa itu (rentangnya) 0,1 sampai 0,3 kita expand ke 0,5. Jadi waktu itu usulan kami kalau yang KHL-nya (Kebutuhan Hidup Layak) sudah di atas itu kan 0,3, tapi kalau masih di bawah ya itu bisa sampai 0,5. Itu usulan kami sudah jelas dan datanya semua juga sudah disampaikan," jelas Shinta saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, dikutip Minggu (21/12/2025).
Industri Padat Karya paling tertekan
Apindo menilai penerapan batas bawah alfa sebesar 0,5 berisiko besar menekan industri padat karya seperti tekstil, garmen, alas kaki, dan sektor manufaktur berbasis tenaga kerja lainnya.
Padahal, sejumlah sektor tersebut dinilai belum sepenuhnya pulih dari tekanan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.
"Concern kami adalah yang padat karya. Karena memang mereka ini akan sangat tertekan dengan adanya UMP yang di-expense seperti ini. Karena minimumnya itu 0,5 kan alfanya, itu jadi cukup tinggi," tegas Shinta.
Ia mengingatkan bahwa kenaikan upah minimum yang terlalu agresif dapat berdampak langsung pada biaya produksi.
Dalam kondisi tertentu, hal ini berpotensi mendorong perusahaan melakukan efisiensi ekstrem, termasuk pengurangan tenaga kerja.
Risiko PHK dan lapangan kerja
Shinta mengingatkan agar kebijakan pengupahan tidak menjadi bumerang yang justru mengancam keberlangsungan lapangan kerja, khususnya di daerah-daerah yang mengandalkan industri padat karya sebagai tulang punggung ekonomi.
Menurut Apindo, tujuan peningkatan kesejahteraan pekerja harus tetap diimbangi dengan keberlanjutan usaha.
Tanpa keseimbangan tersebut, kenaikan UMP dikhawatirkan justru berujung pada meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tantangan di tingkat daerah
Dengan berlakunya PP Pengupahan terbaru, Apindo menilai tantangan berikutnya akan berada di tingkat pemerintah daerah.
Selain penentuan nilai alfa, pengusaha juga harus bersiap dengan kembali diterapkannya Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK).
"Belum lagi kita bicara soal upah sektoral, karena ini yang harus kami harap bahwa pemerintah daerah juga bisa mencermati kondisinya," ungkap Shinta.
Apindo berharap kepala daerah dapat menetapkan upah minimum secara bijak, mempertimbangkan kondisi ekonomi lokal, struktur industri, serta kemampuan dunia usaha di wilayah masing-masing.
Keluhan soal kepastian regulasi
Selain soal besaran upah, Shinta juga menyinggung seringnya perubahan regulasi ketenagakerjaan, mulai dari Undang-Undang Cipta Kerja hingga berbagai revisi peraturan pemerintah turunannya.
Menurutnya, dinamika regulasi yang cepat dan berulang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kondisi tersebut dinilai dapat memengaruhi kepercayaan investor, khususnya investor jangka panjang yang membutuhkan kepastian dalam perencanaan usaha dan biaya produksi.
Tetap hormati aturan berlaku
Meski menyampaikan sejumlah keberatan, Apindo menegaskan akan tetap menghormati dan menjalankan ketentuan PP Nomor 49 Tahun 2025.
Namun, pengusaha berkomitmen untuk terus mengawal proses penetapan upah minimum di tingkat daerah agar tidak memberatkan dunia usaha secara berlebihan.
"Kita nggak bisa apa-apa kan? Tapi nanti dalam proses di daerahnya masing-masing itu yang harus dijaga," tutup Shinta.
Ke depan, dialog antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja dinilai menjadi kunci agar kebijakan UMP 2026 mampu menjaga keseimbangan antara perlindungan tenaga kerja dan keberlangsungan industri nasional.

