PHK Tembus 42 Ribu! Ini 5 Fakta Mengejutkan Nasib Buruh Indonesia 2025
![]() |
Ilustrasi. Pemutusan hubungan kerja (PHK). (Foto: Dok. Tuaindeed/Canva) |
PEWARTA.CO.ID — Lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia kembali menjadi perhatian publik. Hingga pertengahan tahun 2025, tercatat lebih dari 42 ribu pekerja harus kehilangan pekerjaan.
Angka ini mencerminkan kondisi ekonomi yang belum stabil dan dinamika global yang turut berdampak signifikan terhadap sektor ketenagakerjaan nasional.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan masalah ekonomi domestik, tetapi juga mencuatkan kekhawatiran tentang daya tahan industri dan ketahanan pekerja menghadapi tekanan global.
Berikut ini adalah lima fakta penting yang menggambarkan realitas lonjakan PHK yang kini menghantam dunia kerja Indonesia.
1. Kondisi global buruk jadi pemicu PHK massal
Kementerian Ketenagakerjaan mengakui bahwa tekanan ekonomi global menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya PHK. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan, menyampaikan bahwa ketidakpastian global membuat sektor ketenagakerjaan mengalami tantangan besar.
“Memang kondisi global hari ini sedang tidak baik-baik saja,” ungkap Wamenaker dalam keterangan resminya.
Situasi ini semakin diperparah oleh perlambatan ekonomi di beberapa negara mitra dagang utama Indonesia yang berdampak langsung terhadap permintaan ekspor, terutama dari sektor padat karya.
2. Korban PHK naik drastis dari tahun lalu
Data resmi dari portal Satudata milik Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pekerja yang terkena PHK selama Januari hingga Juni 2025 mencapai 42.385 orang. Angka ini melonjak 32,19 persen dibanding periode yang sama tahun 2024 yang mencatatkan 32.064 kasus PHK.
Lonjakan signifikan ini menjadi sinyal peringatan akan rapuhnya ekosistem ketenagakerjaan dalam menghadapi tekanan dari luar dan dalam negeri.
3. Jawa Tengah dan Jawa Barat paling banyak PHK
Beberapa daerah mengalami lonjakan jumlah PHK yang sangat mencolok, terutama di wilayah-wilayah industri utama. Berikut daftar provinsi dengan jumlah PHK tertinggi:
- Jawa Tengah: 10.995 pekerja
- Jawa Barat: 9.494 pekerja
- Banten: 4.267 pekerja
- DKI Jakarta: 2.821 pekerja
- Jawa Timur: 2.246 pekerja
- Kalimantan Barat: 1.869 pekerja
- Riau: 1.486 pekerja
- Kalimantan Timur: 1.460 pekerja
- Kepulauan Riau: 1.086 pekerja
- Kalimantan Selatan: 1.008 pekerja
Data ini memperlihatkan bahwa wilayah yang menjadi pusat manufaktur dan industri skala besar justru paling rentan mengalami gejolak ketenagakerjaan.
4. Pemerintah lakukan mitigasi dan intervensi
Menghadapi gelombang PHK ini, pemerintah mulai mengambil langkah mitigatif untuk mencegah ledakan pengangguran lebih luas.
Salah satu strategi utama yang dilakukan adalah menggandeng kawasan industri untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
“Angka lonjakan PHK memang mungkin meningkat sekian persen itu tadi, tapi hari ini kawasan-kawasan industri melonjak, yang serapan tenaga kerjanya juga banyak. Contohnya di Sulawesi Tenggara, kemudian ada di beberapa daerah lagi seperti Kalimantan Timur, dan Jawa Barat juga,” ujar Noel, sapaan akrab Wamenaker.
Wamenaker juga menambahkan bahwa pemerintah sedang melakukan kajian terhadap sejumlah regulasi yang dinilai menghambat pertumbuhan usaha. Langkah ini termasuk revisi atau penghapusan aturan tertentu guna menciptakan iklim investasi dan ketenagakerjaan yang lebih kondusif.
“Selain itu, kami mencoba menekan angka pengangguran, membuat mitigasi, dan kita akan lakukan intervensi melalui regulasi-regulasi yang kiranya menghambat usaha, kita revisi atau dihapus,” jelasnya.
5. Perang tarif global ikut memukul industri
Faktor eksternal lain yang turut memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Indonesia adalah perang tarif global, khususnya dari kebijakan ekonomi Amerika Serikat. Dampaknya paling terasa di sektor manufaktur dan padat karya yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor nasional.
“Yang jelas manufaktur, padat karya (terdampak sehingga melakukan PHK). Dampak perang tarif ini kita tidak bisa menutup mata terhadap kejadian itu,” kata Wamenaker.
Ketidakpastian geopolitik dan ketegangan antarnegara kini bukan hanya menjadi isu diplomatik, tetapi sudah menyentuh kehidupan para pekerja Indonesia secara langsung.