Iklan -- Scroll untuk lanjut membaca
Advertisement

Pesona Desa Adat Dalung Bali: Sejarah, Tradisi, dan Upacara Sakral yang Masih Lestari

Pesona Desa Adat Dalung Bali: Sejarah, Tradisi, dan Upacara Sakral yang Masih Lestari
Pesona Desa Adat Dalung Bali: Sejarah, Tradisi, dan Upacara Sakral yang Masih Lestari

PEWARTA.CO.ID — Bali tidak hanya terkenal dengan pantainya yang menawan, tetapi juga desa-desa adat yang masih menjaga nilai budaya leluhur. Salah satunya adalah Desa Adat Dalung yang berada di Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung.

Dalung berada di jalur strategis dekat kawasan wisata Canggu, menjadikan desa ini sebagai destinasi budaya yang menarik untuk ditelusuri.

Dulunya, wilayah Dalung hanyalah lahan persawahan dan semak belukar. Namun seiring waktu, kawasan ini berkembang menjadi pemukiman adat dengan nilai tradisi yang kuat, sekaligus destinasi wisata budaya yang menjanjikan.

Desa adat Dalung dan status hukumnya

Desa Adat Dalung merupakan komunitas hukum adat yang berhak mengatur kehidupan internal warganya. Keberadaannya diakui dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 serta dipertegas melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.

Secara status, Dalung termasuk kategori Desa Adat Anyar atau desa adat baru. Hal ini ditandai dengan keberadaan Pura Khayangan Tiga sebagai pusat spiritual, keberagaman warga dari berbagai klan (triwangsa), serta ketiadaan tanah ayahan desa adat.

Adapun batas-batas wilayahnya, di timur berbatasan dengan Desa Adat Kwanji dan Padang Luwih, selatan dengan Desa Adat Padonan dan Kerobokan, barat dengan Desa Adat Tuka dan Buduk, serta utara dengan Desa Adat Abianbase.

Sejarah Asal-usul Dalung

Nama Dalung diyakini berasal dari gabungan kata “Eda” yang berarti tidak boleh dan “Lung” yang berarti patah. Dari kata “Edalung” kemudian berubah menjadi Dalung, yang bermakna tidak akan patah. Filosofi ini menggambarkan semangat warga yang teguh dan pantang menyerah.

Sejarahnya berkaitan dengan masa kejayaan Desa Padangluwah di era pemerintahan I Gusti Gede Meliling. Namun setelah wafatnya sang pemimpin, konflik internal pecah hingga terjadi perang saudara.

I Gusti Gede Tibung, cucu dari raja sebelumnya, gugur dalam pertempuran. Keempat putranya kemudian menetap di Dauh Tukad Yeh Poh, yang kini dikenal sebagai Banjar Kaja di Dalung.

Dari peristiwa inilah, lahir istilah Dalung sebagai simbol keteguhan hidup. Nama ini kemudian diresmikan sebagai identitas desa pada tahun 1823–1825.

Taman Desa Dalung, Bali
Taman Desa Dalung, Bali. (Dok. Istimewa)


Sistem kehidupan masyarakat

Masyarakat Desa Adat Dalung menjalankan aturan adat yang disebut awig-awig. Aturan ini disusun oleh krama desa sebagai pedoman hidup berdasarkan prinsip Tri Hita Karana, yakni menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.

Dalung memiliki 10 banjar adat yang berperan mengatur kegiatan sosial dan upacara keagamaan, di antaranya Banjar Untal-Untal, Tegeh, Kaja, Lebak, Cepaka, Kung, Padang Bali, Dukuh, Pengilian, dan Pegending. Kehidupan adat ini berjalan dengan penuh kebersamaan, baik dalam aspek keagamaan maupun sosial.

Upacara dan tradisi adat Dalung

Warga Desa Adat Dalung masih melestarikan berbagai upacara adat yang sarat makna. Beberapa di antaranya adalah:

Piodalan Rahina Tumpek Wayang

Dirayakan setiap enam bulan sekali, upacara ini dianggap sebagai momen ketika energi gaib sangat berpengaruh. Warga Hindu berdoa memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sekaligus merayakan seni dan budaya Bali.

Piodalan Pura Ratu Made Agung

Upacara yang digelar setiap enam bulan pada hari Buda Urip Wuku Watugunung ini merupakan ungkapan bhakti kepada Ida Bhatara. Selain berdoa, momen ini juga mempererat persaudaraan antarwarga.

Tradisi Mesalaran Tipat Bantal

Tradisi ini melambangkan keseimbangan alam dan rasa syukur atas panen. Warga membawa tipat (ketupat) dan bantal (kue ketan) sebagai persembahan, lalu melaksanakan megibung atau makan bersama sebagai simbol kebersamaan.

Selain sarat nilai sejarah dan adat, Desa Adat Dalung juga menyimpan banyak tradisi yang masih dijalankan hingga kini. Jika Anda berkunjung ke Bali, desa ini bisa menjadi pilihan destinasi untuk merasakan langsung nuansa budaya yang autentik.


Sumber: GNFI

Advertisement
Advertisement
Advertisement